21 TAHUN REFORMASI: PEMBANGUNAN MASA DEPAN INDONESIA BELUM SELESAI


Oleh :
Hikmatullah*




Krisis finansial yang terjadi sejak tahun 1997 menyebabkan Ekonomi Indonesia melemah, bahkan mengalami keterpurukan. Dampak dari krisis tersebut tidak hanya dirasakan dalam bidang ekonomi saja, bidang-bidang kehidupan lainpun telah terdampak dari krisis yang terjadi pada dekade tersebut.
Gerakan Reformasi kemudian lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda tersebut. Tuntutan utama para demonstrasi adalah perbaikan dalam bidang ekonomi dan reformasi secara total unsur penyelenggara negara. Krisis politik, ekonomi, hukum dan krisis sosial merupakan faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang menentukan gelombang besar gerakan reformasi yang dinilai tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi ini.
Meskipun dalam gerakan tersebut menuntut perbaikan dalam bidang ekonomi, namun yang luput dari pandangan adalah proses pembangunan bangsa. Pembangunan Bangsa menjadi wacana nasional pemerintah orde baru yang dikenal dengan program “Repelita” (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Meskipun Presiden Soeharto secara legowo menerima gerakan reformasi dan turun dari jabatannya sebagai Presiden, namun hanya dengan syarat proses pembangunan harus tetap berjalan. Dengan demikian, artinya pemerintah orde baru telah merancang konsep masa depan untuk program pembangunan bangsa.
Ada beberapa hal menarik yang harus dilihat dari proses pembangunan bangsa zaman orde baru dengan sekarang, yaitu logika pembangunan. Menurut penulis, logika pembangunan era orde baru dengan sekarang adalah sama, yaitu sama-sama menggunakan pendekatan The stages of economic growth ala W.W. Rostow.
Dalam teori tersebut, Rostow menjelaskan bahwa pembangunan atau modernisasi merupakan proses bertahap, dimana masyarakat akan berkembang dari masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi tinggi. Pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menuju masyarakat modern merupakan suatu proses yang multidimensional. Dimana perubahan ini bukan hanya bertumpu pada perubahan ekonomi dari agraris ke industri saja, melainkan pula perubahan pada bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, bahkan agama.
Melihat reaksi dari proses pembangunan baik yang sedang berjalan sekarang maupun pada masa orde baru, memang di akui bahwa pembangunan tersebut berjalan secara signifikan sesuai dengan apa yang di rencanakan. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus di evaluasi dari proses pembangunan tersebut.
Menurut penulis, proses pembangunan tidak hanya di prioritaskan pada pembangunan infrastruktur yang terlihat secara fisik semata, akan tetapi pembangunan jiwa dan mental masyarakat untuk menuju tahap akhir dari teori Rostow harus juga di imbangi. Hal tersebut di perlukan guna memberikan kesadaran secara psikologis kepada masyarakat untuk menghadapi kemajuan zaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih buta terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat ini.
Selain itu, proses pembangunan ini harus juga merata dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, agar supaya tidak terjadi disintegrasi. Meskipun sudah diterapkan sistem desentralisasi, akan tetapi hal tersebut perlu dikaji kembali oleh pemerintah pusat, sebab sumber daya, tingkatan ekonomi dan pendapatan masing-masing daerah itu berbeba-beda. Hal tersebut diperlukan agar masyarakat tidak kaget ataupun terkejut dengan berbagai tantangan yang akan di hadapi.
Perlu di sadari bersama, bahwa Indonesia pada hari ini tengah berada pada percaturan politik Internasional yang mendorong hasilnya kepada mekanisme pasar. Kehadiran MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang menggantikan ASEAN Free Trade Area (AFTA) 2015 lalu menjadi bukti bahwa kurangnya kesadaran sekaligus kesiapan baik pemerintah maupun masyarakat untuk menghadapi gelombang besar perubahan ekonomi global. Maka jangan heran kemudian kenapa akhir-akhir ini muncul kebijakan yang di nilai merugikan rakyat, seperti Perpres no. 20 tentang TKA, itu adalah salah satu imbas dari ke-tidaksiap-an kita dalam menghadapi MEA. Padahal ASEAN Community sudah di bentuk sejak 2003 silam dengan tiga pilar utamanya yaitu, ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Pertanyaannya sudah siapkah kita untuk menghadapi dua pilar selanjutnya?
Mengevaluasi dari program MEA tersebut, maka harus ada upaya pendidikan sekaligus penyadaran dari pemerintah terkait dengan persoalan bilateral negara, bukan hanya sebatas sosialisasi semata. Hal tersebut harus intens dilakukan supaya masyarakat Indonesia bisa benar-benar paham dengan segala macam kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Apalagi Indonesia di prediksi akan menjadi bagian dari kekuatan ekonomi ASEAN bahkan dunia dengan bonus demografisnya di tahun 2030 mendatang.
Selain dari segi pembangunan, hal menarik selanjutnya adalah pelaksanaan demokrasi. Menurut penulis, wujud dari perayaan dan pelaksanaan reformasi birokrasi adalah meningkatnya kualitas demokrasi yang lebih dewasa dan mapan. Demokrasi yang dalam teorinya kita kenal dengan istilah dari, oleh dan untuk rakyat, namun dalam tatanan praktek tidak berjalan seperti demikian. Sejauh yang bisa kita rasakan bahwa kehadiran demokrasi hanya pada saat pesta momentum lima tahun sekali. Ini menunjukkan bahwa pendidikan politik maupun demokrasi di Indonesia masih sangat jauh dari apa yang diharapkan.
Sejauh yang bisa kita lihat bahwa kekuatan politik partai yang tergabung dalam koalisi hanya menyusun strategi untuk memikat hati rakyat, sementara nilai-nilai pendidikan demokrasi yang adil dan beradab serta menjunjung tinggi nilai epistimologi manusia hanya menjadi wacana ‘onani’ intelektual semata. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kondisi politik dan demokrasi pasca reformasi ini berada pada resiko ketidakpastian dan selalu saja berunsur pertarungan.
Perjalanan panjang demokrasi Indonesia memang menjadi sebuah catatan penting untuk selalu dipertimbangkan, sebab rintisan perubahan baik radikal maupun gradual harusnya dapat memberikan pemahaman kolektif terhadap masyarakat dengan segala perhitungan, taktik dan strategi untuk mencapai suatu perubahan.
Untuk itu, dalam momentum 21 tahun reformasi ini, mari sama-sama kita kawal proses pembangunan bangsa, baik dari segi infrastruktur, perkembangan kehidupan demokrasi, dan lebih-lebih pada pembangunan jiwa dan mental generasi-generasi yang diramalkan menjadi penggerak utama kemajuan bangsa dengan bonus demografisnya nanti. Sebab generasi-generasi inilah yang akan mengisi setiap post-post dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jangan sampai dengan adanya bonus demografis tersebut malah menjadi musibah bagi bangsa Indonesia dengan semakin meningkatnya pengangguran dan hutang negara akibat dari tingginya nilai konsumeristik masyarakat.
Perjuangan belum berakhir, pembangunan bangsa belum selesai.


*Manusia Tanpa Bakat Istimewa

Komentar

Postingan Populer